Piknik Urban : Hidangan Penutup

Mungkin Minggumu sudah isinya istirahat saja, jalanan juga lelah jadi lengang. Tapi Bandung akhir-akhir ini mulai hujan kok. Lumayan ngisi air tanah lagi. Mingguku? Setelah sebelumnya mencoba keliling kota berjalan kaki, kini saatnya saya menuju pusat peradaban urban, Mall. Tapi kali ini saya memilih tidak BIP, tidak pula PVJ, Ciwalk atau TSM. Ada banyak varietas mall di kota kembang ini. Saya mencoba ziarah budaya pada “Riau Junction”. Mall yang terletak di persimpangan Jalan R.E. Martadinata Bandung ini, menarik, karena selalu macet di persimpangan, karena banyak kendaraan ingin masuk ke dalam.

Kesan pertama saya adalah, konyol. Kenapa pintu masuknya ada di sebelah pinggir, tepat setelah persimpangan dan harus membuat antrian bahkan dari sebelum belokan. Lalu jalur sirkulasi parkirnya pun, tumpuk-tumpukan. Maksudnya jalur parkir masuk dan parkir keluar gedung, melalui jalur yang sama. Tentu saja ini membuat antrian, dan ketidakjelasan mana mau masuk atau keluar, aneh. Tapi tak apa, saya harus menitipkan kendaraan kontribusi kemacetan saya.

Pada mall ini, saya dan teman ingin berburu kebutuhan rumah. Layaknya manusia sejarah, dari dahulu selalu berburu, binatang dan lain-lain. Tapi terlalu banyak godaan, disana, dari barang, harga dan pengunjungnya. Karena kami cowok semua, mungkin melihat harga tidak terlalu kentara, tapi saya amati kaum hawa, disana melihat harga beda beberapa saja cukup perhitungan. Wow, iyakah begitu? Kami pun hampir lupa mencari kebutuhan apa disana. Karena nyatanya banyak barang-barang menarik perhatian, lalu lupa prioritas. Tak jarang pun disana harus pandai-pandai menaruh mata, agar tak jatuh karena fatamorgana pengunjungnya. Kok mereka berbusana seperti itu di mall, jadi repot saya, mungkin kalian tidak.

Setelah selesai belanja, masalah pun tak usai. Urusan pembayaran pun merepotkan. Meski sudah banyak gerbang pembayaran, tetap saja berdiri mengantri lama, apalagi hampir semua pengunjungnya belanjaannya banyak. Jadi berpikir, kenapa pembayarannya tidak memakai konsep ban berjalan seperti koper di bandara? Jadi pembeli menaruh belanjaannya di troli atau keranjang yang ditaruh di ban berjalan, lalu mendapat nomor antriannya. Setelah itu, belanjaan akan dihitung oleh kasir yang siap mengambil antrian dari ban berjalan. Pengunjung tinggal duduk, atau di tempat tunggu sambil makan atau apa, dan melihat sudah sampai antrian mana belanjaannya. Bila sudah dihitung, pengunjung tinggal membayar saja. Ya ini hanya pemikiran ngawur saya saja.

Ternyata masalah belum usai lagi, keluar parkiran adalah permasalahan berikutnya. Mengantri kembali. Memang tak salah mengantri, agar teratur. Tapi kalau antriannya lama, mungkin kurang efisien atau bahkan efektif. Jadi teringat bersama kawan @suaraninja, membahas parkiran dengan Designthinking lagi. Kita reka ulang kerangka pikir “parkir yang sesedikit waktu dan mudah”. Intinya saat masuk parkiran, pengunjung harus tahu mau ke arah mana. Bisa dengan petugas memandu ataupun papan informasi heatmap kepadatan area. Lalu saat keluar, seminimal mungkin pembayaran tidak diujung. Bisa jadi ada petugas keliling dengan alat hitung waktu parkir atau sebelum area parkir sudah membayarnya. Ada banyak ide lainnya, kayaknya perlu tulisan lain lagi khusus ini nanti :p

Kembali pada bahasan kaum urban kali ini. Saya ingin mencoba merasakan budaya konsumerisme. Kadang kita tidak tahu yang kita butuhkan, terlalu sering dikendalikan keinginan.

“Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don’t need.” – Fight Club

Fenomena ini mengingatkan saya banyak pada “Fight Club” bukan pada perkelahiannya, tapi buku itu nyatanya tentang budaya konsumtif. Budaya kita memaksa kita mengenakan simbol-simbol tertentu untuk menjadi diakui golongan tertentu. Sehingga kita harus memiliki dan menguasai materi, padahal materi yang jadinya menguasai kita.

“The things you used to own, now they own you.” – Chuck Palahniuk

Pokoknya buku itu kacau, sebagai counter budaya materialis dan konsumtif. Bahaya buat dibaca, sebaiknya kalian jangan membacanya, kalau tak ingin berpikir ulang. Karena semakin melawan budaya itu, Anda pasti kalah. Apalah kita pada peta galaksi konsumtif, kita pasti selalu tersedot lubang hitam iklan. Setelah dua pekan keliling kota Cirebon, Bandung dan Jakarta, merasakan dinamika hidupnya yang berbeda. Lebih baik kita beristirahat saja dahulu, karena dunia urban terlalu lelah untuk dikejar dan dikenali terus-menerus. Nanti lagi 🙂

“We’re consumers. We are by-products of a lifestyle obsession. Murder, crime, poverty, these things don’t concern me. What concerns me are celebrity magazines, television with 500 channels, some guy’s name on my underwear” – Tyler Durden (Fight Club)

PS: Atas dasar konsensus saya sendiri, tak perlu ada foto kali ini. Karena nyatanya kita mungkin hafal dengan kondisi di mall.

Bandung, 1 November 2015

Piknik Urban : Hidangan Penutup