Penyesalan Papandayan : Kenyataan Itu Pahit

Setelah perjalanan Papandayan pada hari pertama dan menuju ‘puncak’, kami turun melalui jalur curam yang langsung menuju jalur kawah belerang. Jalur ini sangat cepat, tidak melewati pondok salada. Bisa memotong sekitar satu jam lah.

Foto oleh @mnsaepulloh
Turunan Asoy

Sempat bertemu tim Jejak Petualang, lalu ‘pamit’ langsung turun. Saat turun di jalur kawah, bertemu seorang Pak Tua. Orang ini membawa cangkul, Mang Asep dia dipanggilnya. Sembari jalan, ternyata bertemu dengan kawanan konvoi motor trail, mereka ingin menuju pangalengan, melalui jalur papandayan ini. Wah, ternyata ada juga jalannya ya, memang jalur papandayan ini semacam titik silang atau potong, menuju pangalengan lebih cepat, tentu saja dengan motor trail.

Kami sempat berbincang-bincang dengan Mang Asep sebentar, sambil beliau meminta minum pada kami.

DSC00427
Mang Asep

Mang Asep mengaku pada kami bahwa dia sebenarnya adalah …., Tour Guide di Papandayan. Wow, ada tour guide juga ternyata. Iya, Papandayan ini juga banyak dikunjungi bule ternyata. Nah, spesialisasi Mang Asep ini adalah pengunjung dari mancanegara. Paling banyak katanya dari Belanda, di bulan Mei-Juli katanya. Ternyata wong Londo ini masih kangen sama Indonesia ya :). Nah pada saat ngobrol dengan beliau ini, kami malah menyesal. Mendapati kebenaran pahit dari perjalanan Papandayan kami. Pertama, kami belum sampai Tegal Alun ternyata. Tegal Alun diceritakan Mang Asep adalah padang Edelweis terluas di Indonesia, mungkin juga di dunia. Luas padang Edelweiss ini lebih dari 90Ha, apalagi Edelweiss Indonesia merupakan spesies langka katanya, ‘Anaphalis Javanica’.  Langka, karena banyak orang yang ingin memetik bunga abadi ini, malah membuat kerusakan dan mengacaukan keseimbangan alam bunga abadi ini. Jadi teman-teman, stop memetik Edelweiss dari gunung. Nikmati saja ditempat, jangan ambil apapun kecuali pengalaman.

Edelweiss Bunga Abadi
Anaphalis Javanica
Tegal Alun Aseli
Tegal Alun 90 Ha

Jadi kami ini belum sampai Tegal Alun, karena dikira sudah melewati padang ‘Edelweiss’ pada waktu keluar dari Pondok Salada menuju Hutan Mati. Ternyata itu baru tipuan, Tegal Alun adalah mengambil arah kanan menyusuri sungai di Hutan Mati. Nah, kami tidak. Kami buru-buru menuju ‘puncak’ semu yang terlihat di Hutan Mati. Saya pikir, banyak penjelajah yang baru pertama kali ke Papandayan, tertipu hal ini. Karena dari blogwalking, saya baca mereka juga salah menuju ‘puncak’ nampaknya. Puncak Papandayan yang 2800an meter itu sebenarnya bukan dilalui dengan jalur curam, namun memutari bukit lagi. Jika kalian lihat dari Hutan Mati, itu adalah di hadapan depan kawah belerang yang ada danaunya. Nah dari puncak Papandayan itu, kita bisa mengambil jalan turun yang akan bertemu akhir di belakang pos pendaftaran Papandayan. Jadi kami sudah salah ambil jalur, tidak bertemu padang Edelweiss dan Puncak Sebenarnya. Waktu tempuh dari Hutan Mati hingga Tegal Alun, sekitar 1 jam, sedangkan bila sampai puncak bisa dicapai kurang dari 2 jam.

Jadi bagi teman-teman saya kasih tahu gambaran rute di Papandayan ya. Dari pos pendaftaran, ikuti saja jalur menuju jalur belerang, lalu akan menemui jalan yang putus, kalian akan diarahkan ke kanan, semacam turun, tapi itu adalah jalur baru. Setelah turunan ke kanan, bertemu sungai, akan naik kembali. Ambil arah ke kiri, nanti akan dibawa ke jalan yang lebar menuju Lawang Angin. Sampai Lawang Angin, sekitar 1 jam perjalanan. Lalu dari sini menuju Pondok Salada, sekitar setengah jam. Di Pondok Salada, kalian dapat membuat tenda. Nah, dari Pondok Salada ke Hutan Mati sekitar setengah jam. Ambil arah ke kiri, dari melewati sungai. Hingga bertemu kumpulan pohon tanpa daun dan gersang hitam. Lalu cari aliran sungai ke arah kanan untuk menuju Tegal Alun. Dari sana, saya belum tahu lagi, gara-gara salah sangka.

Tapi penyesalan ini tak sampai puncak, bukan sebuah kegagalan. Kecewa memang, tapi pengalaman dan pemandangan yang didapat sungguh luar biasa. Papandayan tepat disebut sebagai ‘Swiss Van Java’. Saya jadi punya alasan untuk kembali lagi ke Papandayan, menyelesaikan yang belum tuntas. Apalagi sudah kenal dengan Mang Asep, jadi mudah jika ingin trekking sore..haha. Sama seperti saya memendam penyesalan ke Ciremai, karena lupa membawa kamera. Saya hanya menyimpan kenangan Ciremai dalam pengalaman. Pendakian memang mungkin tak selamanya lancar, ada saja penyesalan yang didapatkan. Tapi hal itu yang membuat pendaki ingin mengulang lagi petualangannya, banyak hal yang belum dijelajahi dan didapatkan.

Salam Rimba
Salam Rimba

“Jangan ambil apapun, kecuali pengalaman.
Jangan tinggalkan apapun, kecuali jejak.
Jangan bunuh apapun, kecuali waktu”

Penyesalan Papandayan : Kenyataan Itu Pahit